Sabtu, 29 Oktober 2011

kode bahasa

Oleh: Pina Duwi Hadi (STKIP PGRI NGAWI)
A, Pengertian Kode
Pemilihan bahasa bukanlah merupakan hal yang mudah dalam suatu peristiwa tutur (Fasold, 1984). Seseorang yang merupakan dwibahasa tentu saja akan berpikir untuk memilih bahasa apa yang akan dia gunakan ketika berbicara kepada orang lain dalam peristiwa komunikasi. Menurut sudut pandang Sosiolinguistik, penggunaan variasi kode bahasa dalam masyarakat multibahasa merupakan gejala yang sangat menarik untuk dikaji.

Kode mengacu pada suatu sistem tutur yang dalam penerapannya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan mitra tutur dan situasi tutur yang ada. Kode biasanya berbentuk varian bahasa yang secara nyata dipakai untuk berkomunikasi antaranggota suatu masyarakat bahasa (Poedjosoedarmo, 1978:30).

Wardhaugh (1986) menyebut kode sebagai sebuah sistem yang digunakan untuk berkomunikasi antara dua penutur atau lebih yang berupa sebuah dialek atau bahasa tertentu. “... that the particular dialect or language one chooses to use on any occasion is a code, a system used communication between two or more parties” (Wardhaugh, 1986:99). Menurut Wardhaugh, masyarakat bilingual atau multilingual dihadapkan pada masalah untuk memilih sebuah kode (bisa berupa dialek atau bahasa) tertentu pada saat mereka bertutur, dan mereka mungkin juga memutuskan untuk berganti dari satu kode ke kode lain atau mencampur kode-kode tersebut.

Dengan demikian, di dalam masyarakat multibahasa terdapat bermacammacam kode, yang antara lain berupa dialek, sosiolek, serta gaya yang digunakan dalam berkomunikasi. Dengan adanya kode-kode tersebut, penutur dalam lingkungan tutur tersebut akan menggunakan kode sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan cara mengubah variasi penggunaan bahasanya.

1. Kode Bahasa Indonesia (BI)
Bahasa Indonesia (BI) sebagai bahasa negara memegang peranan yang sangat penting dan luas, bukan hanya berperan di forum formal tetapi juga di forum nonformal. Selain berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, BI juga merupakan bahasa persatuan bagi masyarakat Indonesia yang mempunyai berbagai ragam bahasa daerah. Dalam masyarakat tutur Jawa di kota Bontang, BI merupakan kode yang paling dominan. Hal itu disebabkan kenyataan situasi kebahasaan di kota Bontang yang mayoritas masyarakatnya merupakan masyarakat pendatang dari berbagai daerah di Indonesia yang memiliki bahasa daerah yang berbeda-beda. Untuk menjembatani hal tersebut, tidaklah mengherankan jika masyarakat tutur tersebut menggunakan BI untuk berkomunikasi. Dalam masyarakat tutur Jawa di kota Bontang misalnya, kode BI dominan hampir di seluruh ranah. Pada ranah pemerintahan, BI merupakan kode yang sangat dominan yang digunakan dalam sebuah peristiwa tutur, termasuk oleh masyarakat tutur Jawa di kota Bontang. Selain digunakan dalam komunikasi formal kedinasan, kode BI juga digunakan dalam komunikasi kedinasan yang bersifat nonformal.

Contoh:
KONTEKS : Seorang petugas yang bekerja di sebuah kantor pemerintahan sedang melayani seorang perempuan yang akan membuat kartu tanda pencari pekerjaan.
P1 : Ijazahnya sudah dibawa semua?
P2 : Ini, pak.
P1 : Lho, dari Semarang ya?
P2 : Iya, pak.
P1 : Kok gak golek gawean di Semarang aja, kan rame di sana.
P2 : Orang tua saya kan tinggalnya di sini. Lagian cari kerja di
Semarang juga susah.

Tuturan di atas merupakan sebuah peristiwa tutur yang terjadi di sebuah kantor pemerintahan, yakni di kantor Dinas Tenaga Kerja (Disnaker). Penutur pada peristiwa tutur tersebut adalah seorang pegawai kantor Disnaker (P1) dan seorang warga yang sedang mengurus pembuatan kartu tanda pencari kerja (P2). Dalam suasana kerja, petugas memilih kode BI dalam bertutur dengan mitra tuturnya. Kode yang digunakan oleh P1 dan P2 dalam peristiwa tutur tersebut merupakan kode BI yang tampak runtut dan biasa digunakan dalam sebuah peristiwa tutur. Namun demikian, latar kebahasaan kedua penutur sebagai seorang dwibahasawan menyebabkan tuturan tersebut diwarnai adanya campur kode ke dalam BJ yang tampak dalam tuturan ‘Kok gak golek gawean di Semarang aja, kan rame di sana’ (Kok tidak cari kerja di Semarang saja, kan ramai di sana) oleh petugas. Campur kode dalam tuturan petugas tersebut dilakukan dengan maksud agar petugas bisa merasa lebih akrab dengan masyarakat yang dilayaninya. Pada latar ini, sebuah tuturan tidak selalu diawali dengan menggunakan kode BI. Pada peristiwa-peristiwa tertentu, sebuah tuturan seringkali terjadi dengan menggunakan kode BJ. Penggunaan kode BJ oleh petugas dan tamu di kantor Disnaker dalam berinteraksi verbal disebabkan antara lain karena petugas dan tamu sudah saling mengenal sebelumnya.

 Hubungan kode bahasa dengan sastra:
Berbagai kode yang harus dipahami oleh para pembaca sastra, adalah kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra. Kode bahasa perlu dikuasai oleh pembaca, agar dirinya berhasil dalam mengapresiasi karya sastra tersebut, sebab pada dasarnya setiap karya sastra itu memiliki keunikan yang sebagian di antaranya diungkapkan melalui bahasa.Bahasa dalam karya sastra telah dieksploitasi melalui proses kreatif untuk mendukung fungsi tertentu. Untuk dapat memahami maknanya, seseorang perlu memahami dahulu konvensi bahasa yang umum, yang dimungkinkan oleh kaidah tersebut.

2.Kode Sastra
kode sastra adalah kode yang berkenaan dengan hakikat, fungsi sastra,karakteristik sastra, kebenaran imajinatif dalam sastra, sastra sebagai sistem semiotik,sastra sebagai dokumen sosal budaya, dan sebagainya. Menurut Teeuw (1991: 14),sesungguhnya kode sastra itu tidak mudah dibedakan dengan kode budaya, meskipunbegitu, pada prinsipnya keduanya tetap harus dibedakan dalam kegiatan membaca dan memahami teks sastra.

3.Kode Budaya
Kode budaya adalah pemahaman terhadap latar kehidupan, konteks, dan sistem sosial budaya. Menurut Chapman (1980: 26), kelahiran karya sastra diprakondisikan oleh kehidupan sosial budaya pengarangnya. Karena itu, sikap dan pandangan pengarang dalam karyanya mencerminkan kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Sejalan dengan itu, Rachmat Djoko Pradopo (2001: 55- 56), menyatakan bahwa karya sastra sebagai tanda terikat pada konvensi masyarakatnya, karena merupakan cermin realitas budaya masyarakat yang menjadi modelnya.


Kesimpulan:
Untuk bisa menikmati dan memahami sebuah teks sastra perlu memahami 3 kode, yaitu kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya.

related articles



0 komentar:

Posting Komentar

pine2.blogspot.com